Laman

Cerita keseharian

STORY ABOUT ME

Senin, 29 Oktober 2012

SOEMPAH PEMOEDA = PRODUK INTELEGENSI GENERASI 28

 


oleh Alexius Mahargono pada 27 Oktober 2012 pukul 19:08
Berkat kekuatan apakah Generasi 28 mampu melancarkan dan menahkodai gerakan pemerdekaan bangsa lewat zaman-zaman Hindia Belanda dan Jepang yang maha sulit itu? Merumuskan Pancasila, menyusun UUD 45, memproklamasikan Republik Indonesia, menyetirnya sampai diakui dunia internasional? Apakah berkat kekuatan ekonomi? Tidak. Berkat gelegar tentara yang kuat persenjataannya? Tidak. Atau partai pelopor dengan massa yang besar? Atau juga berkat partai bohong yang ketua dewan pembinanya anak mantan menteri yang protoloan serdadu? Juga tidak. Pejuang pemerdekaan Indonesia 1900-1950 yang yakin di tengah masyarakat pribumi kolonial yang (waktu itu) kira-kira 70 juta rakyat sebenarnya minoritas dalam minoritas. Orang-orang pengkhianat, serdadu pribumi yang ikut Belanda dan orang-orang yang serba lemah miskin prinsip, mudah menyeberang ke lawan sangatlah banyak (mungkin generasi sekarang tidak pernah diberitahu tentang itu). Namun para pemimpin yang sedikit sekali itu toh akhirnya menang menghadapi Belanda dan dunia internasional. Berkat semangat muda mereka. Dan jangan pernah dilupakan: terutama berkat intelegensi mereka, (kalau memang iya, mengapa harus diingkari), sebagian besar berkat pendidikan intelegensi oleh Belanda. Bukan oleh pemerintah Belanda, melainkan oleh guru-guru Belanda (ini yang seringkali membuat haram bagi bangsa ini untuk mengakuinya, semua yang berasal dari belanda adalah penjajah.... adalah busuk bla bla bla...).

Maka setiap ada perayaan Hari Kemerdekaan atau Hari Pahlawan atau upacara serta acara lain semacam itu, yang menyangkut kemnangan pemerdekaan bangsa Indonesia, hati saya selalu sedih (atau lebih tepatnya: marah), karena selalu dan senantiasa dipompakan ke dalam persepsi otak generasi muda, seolah-olah kaum Republik dulu jaya karena entah bambu runcingkah, atau senapan berpeluru mesiukah yang memberondongkan ribuan peluru, atau serangan-serangan bersenjata yang memang heroik dan fotogenik dramatik di layar bioskop, TV dan video, akan tetapi justru  memberi gambaran yang sama sekali meleset atas keunggulan historis generasi Kakek-Nenek Bapak-Ibu pendiri dan pembela RI kita di tahun-tahun yang maha gawat dan kacau itu. Memang harus diakui, tanpa perlawanan bersenjata kita sudah pasti digilas musuh, kepahlawanan berdarah panas itu harus kita hormati, tetapi maaf sungguh maaf, bukan mereka yang akhirnya menjadi sumber dan kunci rahasia kejayaan RI di masa kemerdekaan. Melainkan sekali lagi intelegensi dari para nahkoda nasion yang semuanya tergolong Generasi 28, yang didukung oleh semangat kaum muda yang kelak disebut Generasi 45. Hati boleh mendidih, namun kepala harus tetap dingin, itulah dalil yang dulu selalu didengungkan, dan yang historis memang terjadi.

Perbedaan pendapat memang ada antara kaum gerilyawan dan diplomat, antara tani-buruh dengan priyayi-pegawai dan sebagainya, tetapi boleh dikatakan semua waktu itu tunduk kepada akal sehat dan daya kemampuan memperhitungkan sekian banyak variabel dan alternatif. Mengumpat, memaki bahkan tidak jarang memberontak, tetapi toh akhirnya semua berakal sehat (kecuali PKI dan Tan Malaka) utnuk berdiri konsisten di belakang Soekarno-Hatta. Intelegensi mereka mampu untuk sadar, bahwa taktik-taktik sewaktu-waktu dapat dan harus berubah menurut situasi. Namun strategi tetapalah harus konsisten, yakni strategi dasar untuk melumpuhkan Belanda dan memancing simpati dunia internasional yang memang sudah muak perang dan benci Jepang, dengan menunjukkan wajah yang justru tidak militeristis, tetapi wajah yang penuh keinginan damai dan berbudaya. Dalam suasana di mana perbedaan pendapat serba bebas dan fair play diakui sebagai modal utama jika ingin jaya. Dalam bahasa Bung Karno: situasi empirik bukan texbook thinking. Dalam bahasa Edward de Bono: lateral thinking. Dalam bahasa rakyat biasa kurang lebih: bijak.

Berpikir lateral adalah berpikir yang tidak dogmatis pada satu pola saja yang dianggap paling hebat; tidak doktriner, jadi tidak mengacu pola yes or no, kapitalis/sosialis, beriman/kafir, orde baru/orde lama; maka mengakui, jalan yang betul belum tentu selalu betul dan jalan yang dipandang salah belum tentu selalu serba salah, tradisional bisa saja berarti modern, dan modern bisa jadi tradisional. Berpikir lateral bukan berpikir logis matematis, namun komplemennya. Dan tentu saja tidak berarti berpikir plin-plan. Tetapi berpikir multi dimensional. Jadi bukan dunia dalil satu yang melangkah ke dalil ke dua secara ketat kaku dan dalam urutan yang pasti eksak yang tidak bisa ditawar lagi. Berpikir lateral bisa diibaratkan penerbangan burung-burung yang merdeka; lebih mementingkan eksplorasi dan pencarian kemungkinan-kemungkinan pada berbagai tingkat ketinggian, arah dan kecepatan. Lateral thingking adalah cara berpikir manusia merdeka, dewasa, kreatif dan bijak. Bahkan bisa jadi revolusioner dalam artian: sanggup keluar dari pola-pola berpikir yang mapan, karena yakin bahwa kehidupan jauh lebih kaya raya dari pada doktrin dan alam raya. Dengan mengakui adanya samudera bahkan sekian galaksi kemungkinan-kemungkinan yang belum dieksplorasi. Lateral thinking adalah cara pikir dan dunia persepsi kaum perantau, kaum petualang, seniman dan religius sejati (bukan religius yang berpolitik), kreatif, berani, peduli dan suka bereksperimen.

Dengan menyimak apa yang dimaksud oleh Edward de Bono tentang cara berpikir lateral, maka kita akan lebih paham mengapa Generasi 28 begitu suka pada kata sifat revolusioner, yang berarti berani keluar dari kerangka-kerangka serba mapan, demi sesuatu yang lebih baik. HOS. Cokroaminoto, memilih keluar dari pekerjaannya yang mapan sebagai ambtenaar di Kabupaten Ngawi, untuk ikut dalam pergerakan nasional memperjuangkan kemerdekaan, dan pergi dari rumah besarnya, tinggal di rumah kecil di salah satu gang sempit di surabaya, karena akan dibunuh oleh ayahnya. Sutan Sjahrir, drop out  kuliah pada semester awal, karena terlalu inten dalam pergerakan bersama pemuda lainnya. Ki Hajar Dewantara, dengan sadar melepas seluruh atribut kebangsawanannya, bergerak dalam pendidikan untuk mencerdaskan bangsanya. Penjara sungguh akrab bagi Soekarno & Hatta, yang kalaupun mereka mau, pekerjaan sebagai engineer dan ekonom yang lebih terhormat sudah menanti selepas Soekarno lulus dari THS Bandung (sekarang ITB) dan sepulang Hatta dari Belanda, dan mengapa mereka berhasil gemilang dalam pelaksanaan tugas historis yang mission impossible. Coba bayangkan: insinyur sipil ditugasi jadi Presiden Republik muda, guru SD diangkat jadi Panglima Besar, mahasiswa drop out semester awal disuruh jadi Perdana Menteri dan memperjuangkan pengakuan di PBB untuk suatu republik yang belum dikenal, tambah tugas menjinakkan singa Belanda yang memiliki alat-alat perang modern, dokter disuruh menembus blokade angkatan laut kuat dan mengkoordinasi penyelundupan senjata, petani dan simbok-simbok desa ditugasi penyelengaraan dapur umum untuk ribuan tentara tanpa budget, tanpa dibayar, montir ditugasi pembuatan granat, kiper sepak bola ditugasi mempertahankan radio komunikasi, dst. Apakah ini bukan mission impossible. Tetapi toh mereka mampu membuat yang mustahil menjadi mungkin.

Baris-berbaris, menembakkan senapan dan melempar granat sangatlah gampang dibanding berpikir, bersiasat, mengorganisir, agar sekian banyak orang paham, tetap bersatu dan tidak saling eker-ekeran, dan berdiplomasi melawan cara pikir berpolitik parlemen dan kabinet Belanda, mengubah kekuatan-kekuatan internasional menjadi pendukung RI. Namun mereka memang jaya menghadapi Belanda berkat kecerdikannya, intelegensinya. Seperti seekor kancil dalam menghadapi harimau, ular dan buaya. Dan itulah yang dikerjakan oleh Generasi 28, sampai kira-kira tahun 1955. Sesudah itu intelegensi, kemerdekaan eksplorasi dan eksperimentasi serta kreatifitas mengalami musim kemarau yang sangat panjang sekali. Sampai akhirnya bergaung suara-suara nyinyir dalam keluhan setiap kaum marginal: toh nyatanya saat ini yang bisa hidup dan maju bukan mereka yang punya intelegensi atau bijak, melainkan yang punya duit, punya beking kuat dan agresif keroyokannya. Tentulah ini suara yang tidak 100% benar, namun jika ada asap mestinya perlu dicari di mana apinya kan?

Semoga kita semua sepakat bahwa dengan mental keroyokan, berkelahi tanpa sebab yang jelas, solidaritas absurd, dan dengan pudarnya daya intelegensi dan kebijakan nasion, kita tidak akan mungkin mampu menghadapi proses terbang mengangkasa menuju pada kehidupan berbangsa yang lebih beradab pada tahun-tahun mendatang. Namun sudilah kita jangan hanya menyalahkan satu atau dua pihak saja, terutama kepada pihak yang bertanggung jawab pada proses pembetukan intelegensia. Namun seluruh sistem negara dan praksis masyarakat menentukan apakah kita akan mendapat Generasi Baru ciyus miyapah yang bisanya cuma menyontek, menghafal dan berbaris, beking-bekingan, keroyokan dan lari tunggang langgang ketika polisi datang, ataukah generasi yang intelegen dan bijak, tidak usah berharap seperti Einstein yang mahir dengan dalil-dalil fisika, ataupun Phytagoras yangt mahir dengan dalil-dalil matematika, namun cukup seperti, atau kalau bisa mendekati Generasi 28.

Masalah akan datang ketika, bahwa yang mendominasi sistem pendidikan formal kita adalah logika dan matematika. Di luar negeri juga begitu pada umumnya. Akan tetapi di sana ada mekanisme-mekanisme lain, iklim kultural dan yang disebut kurikulum terselubung (hidden curriculum) yang memberi komplemen lebih dari cukup, sehingga murid terbina untuk, sadar tak sadar, sungguh-sungguh berpikir. Baik lewat kurikulum terselubung maupun terbuka sekolah formal, terutama lewat pendidikan non formal dan in formal dalam keluarga serta masyarakat sehari-hari. Tidak seperti sekolah kita sekarang, esensinya jarang sekali disentuh oleh para guru yang terhormat (meskipun sudah seringkali diberlakukan sistem-sistem yang lebih memberdayakan murid dalam pembentukan pola pikir), tidak lain karena memang pola pikir para guru pun hampir sebagian besar masih dua dimensi, tidak lateral. Lebih senang mengekspos seragam dan atribut-atribut lain yang sama sekali tidak mendidik dan tidak berorientasi pada pola pikir. Di zaman Hindia Belanda pun hal itu terjadi juga, sehingga kemudian bukanlah menjadi soal apabila ada guru muda SD dibebani tugas yang amat berat, yaitu Panglima Besar. Boleh jadi mereka bukan tolok ukur, karena mereka memang manusia-manusia luar biasa, manusia-manusia spesial. Namun sudilah jangan lupa, bahwa historis RI, khususnya dalam tahun-tahun awal kemerdekaan, ditopang oleh jutaan orang yang biasa-biasa saja; yang kebanyakan hanya lulusan Sekolah Rakyat (SD), namun mereka terdidik untuk berpikir, meski tidak tahu banyak mengenai logika dan matematika (juga tidak dilatih baris-berbaris, dan drum band) tetapi kuat dalam penguasaan bahasa, dan ya itu: mampu untuk berpikir.

  1. Kami poetera dan poeteri Indonesia, mengakoe bertoempah darah jang satoe, boekan tanah jang diboeat bancakan oleh para kapitalis pajah.
  2. Kami poetera dan poeteri Indonesia, mengakoe berbangsa jang satoe, boekan bangsa jang galaoe dan lemah.
  3. Kami poetera dan poeteri Indonesia, mendjoendjoeng bahasa persatoean, boekan bahasa ciyus miapah.

Selamat merayakan Hari Sumpah Pemuda!

Satoe KADO spesial buat adik-adik WAPEALA UNDIP yang hari ini, tepat pada peringatan SOEMPAH PEMOEDA, SUMMIT ATTACK Mt. KILIMANJAROO - TANZANIA - AFRICA.
Semoga dengan semangat Sumpah Pemuda, Sang Merah Putih, Panji Diponegoro & Bendera Merah Wapeala bisa berkibar di atap Afrika. Dan seluruh tim diberi kekuatan dan kesehatan untuk menunaikan tugasnya hingga kembali ke tanah air. Amiin.

Wlingi, 28 Oktober 2012

Tidak ada komentar: