Laman

Cerita keseharian

STORY ABOUT ME

Selasa, 30 Oktober 2012

UHURU PEAK

(oleh Irwan Hidayatullah, Syarifudin Ahmad dan Umi Lutfiyah, WAPEALA UNDIP)

Memulai pendakian dari Machame Gate 1800 mdpl bersama para pendaki dari berbagai negara membuat pendakian kali ini terasa berbeda. Kami benar-benar merasa sebagai penduduk dunia. Semangat cinta tanah air menjadi kekuatan dalam diri kami, demi mengibarkan bendera merah putih di Puncak Uhuru, Kilimanjaro. Hari-hari pendakian kami lalui dengan tekad kuat meskipun semakin hari terasa berat karena oksigen yang semakin menipis kami rasakan.

Kilimanjaro dikaruniai keindahan yang luar biasa dan kami melihat tangan Tuhan menciptakan segalanya terasa indah di sana. Bangsa kulit hitam yang bersaudara kuat dan mendampingi selama pendakian, kami belajar banyak dari mereka. Kami semakin yakin, ekspedisi kali ini akan terjalani dengan sempurna. Merah putih akan berkibar di salah satu tempat tertinggi di dunia.

Minggu 28 oktober 2012 pukul 00.27 kami memulai pendakian menuju puncak Uhuru. Di awali dengan doa dan semangat WAPEALA kami bersegera. Kabut tipis yang menerpa tidak kami hiraukan, bendera merah putih harus secepatnya dikibarkan. Wajah-wajah saudara-saudara kami keluarga WAPEALA, almamater tercinta Universitas Diponegoro, ingatan kami tentang martabat bangsa Indonesia, meringankan setiap langkah kami yang semakin terasa berat. Dinginnya suhu minus derajat, deru angin yang semakin melemahkan tidak juga menggoyahkan tekad kuat yang kami bawa dari Indonesia.

08.10 waktu Kilimanjaro, Tanzania pada Hari Sumpah Pemuda akhirnya kami mencapai puncak Uhuru. Ekspedisi Kilimanjaro, mimpi bertahun-tahun yang terpupuk sekian lama akhirnya terlaksanakan. Air mata kami tumpah menemui salah satu kebesaran Tuhan. Tebing es abadi yang tangguh berada di dekat kami.

Kami, Irwan Hidayatullah, Syarifudin Ahmad dan Umi Lutfiyah merayakan semangat kepemudaan 28 OKTOBER di puncak kebebasan, Uhuru.
Semangat pada tahun 1928 yang lalu kami teruskan melalui saluran yang kami percaya dan mempercayakan bendera merah putih kepada kami, WAPEALA! VIVA INDONESIA.

Generasi Bingung Bahasa


 
[Sumber: http://www.seputar-indonesia.com/analystofthemonth/generasi-bingung-bahasa] 
Author: 
RHENALD KASALI
Seorang presenter radio terkenal, juga guru komunikasi yang andal, datang ke Rumah Perubahan beberapa hari lalu. Di sekolah komunikasinya yang banyak diminati kaum muda, juga di program radionya, ia menemukan semakin banyak anak muda yang bingung berbahasa.

Ingin berbahasa Inggris tapi kurang pas.Membuka percakapan dengan guru dalam bahasa Inggris tapi patah-patah. Bingung memilih kata, apalagi pengucapannya. Bunyinya tak jelas. Namun,begitu dilayani dalam bahasa Inggris, dijawab pakai bahasa Indonesia yang juga tak jelas. Mungkin masih lebih jelas bicara dengan saudara kita di belahan timur Indonesia yang bahasanya makin singkat.

Seperti “sapi nonton bola” yang berarti “saya pergi nonton bola” atau di paling barat saat orang Aceh mengatakan air kelapa dengan “ie u”. Tapi di mana pun mereka bersekolah, masalah yang dihadapi tetap sama: anak-anak kita sungguh lemah mengungkapkan gagasan tulisan dalam bahasa Indonesia. Sehingga berapa pun tingginya IPK akademis mereka, tetap saja sulit siap pakai untuk bekerja karena tak bisa diminta membuat laporan, proposal, atau bahkan minute of meeting sekalipun.

Bahkan banyak calon doktor yang gugur pada tahap penulisan kesimpulan disertasinya. Selain bingung bahasa juga muncul generasi alay yang gemar menggabungkan huruf dengan angka dan simbol. Meski menyulitkan, orang tuanya ternyata ikutikutan alay. Beruntung masalah bahasa belum menimbulkan perpecahan bangsa.

Tapi di Filipina, keretakan hampir terjadi karena bahasa anak muda yang dikenal dengan istilah jejemon cukup membuat Menaker-nya khawatir keunggulan daya saing tenaga kerja Filipina di dunia internasional akan terganggu. Pasalnya mereka hanya saling mengerti di antara mereka, sedangkan bahasa Inggris tak lagi dipahami.

Menjelang Hari Sumpah Pemuda akhir pekan ini, ada baiknya kita merenungkan kembali sumpah para pemuda pada tahun 1928 yang menyadari pentingnya bahasa pemersatu. Bahasa Indonesia tengah mengalami ujian yang berat, baik melalui gempuran budaya pop, bahasa asing maupun sikap mental orang kalah yang membentuk mentalitas pecundang. Namun lebih dari itu, masih adakah tokoh yang mau mengawal persatuan melalui bahasa yang indah ini?

Menghilangnya Ahli Bahasa

Siapakah ahli bahasa Indonesia yang sekarang dapat menjadi anutan kaum muda? Bila dulu ada mendiang Anton Moeliono dan Yus Badudu, mungkin sekarang kita sulit mencari anutannya. Padahal nama-nama mereka di era TVRI dulu tidak kalah populer dengan Rhoma Irama. Namun nama-nama ahli bahasa sekarang tenggelam,tak bisa mengimbangi ahli ekonomi dan politik,apalagi musisi dangdut atau stand up commedian.

Untuk mengambil hati kaum muda, bahasa Indonesia juga butuh role model, bahkan “selebritas” yang tak kalah persuasif. Namun apakah benar pemerintah menaruh perhatian dalam membina bahasa persatuan ini? Bila untuk sila pertama Pancasila saja negara rela mengucurkan dana besar mencetak sarjana-sarjana agama, berapa besar negara mengucurkan dana untuk mencetak sarjana bahasanya sendiri?

Saya bahkan khawatir,pelajaran bahasa Indonesia di sekolah- sekolah tidak lagi diberikan oleh guru-guru hebat seperti yang pernah dialami generasi saya. Padahal kini Direktorat Kebudayaan sudah berada di bawah kendali Kementerian Pendidikan. Bahkan wakil menterinya sudah ada. Yang belum ada adalah insentif untuk menumbuhkan kecintaan orang muda dalam menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar.Juga belum terlihat studi bahasa sebagai studi yang menarik.

Masa depan lulusan ilmu bahasa, apalagi bahasa Indonesia, belum dipikirkan dengan baik. Bidang studi ini praktis hanya bisa menerima mahasiswa yang paling sedikit, lalu fasilitasnya juga jauh dari memadai. Saya kira beasiswa yang tersedia juga tidak banyak.Kalaupun ada,ia kalah populer dengan ilmu komputer yang sedang seksi. Tidak bisakah dilakukan intervensi yang lebih menarik? Yang jelas,ilmu bahasa,terlebih bahasa persatuan, memerlukan revitalisasi yang amat serius.

Ilmuwan bahasa juga perlu menjelajahi bahkan mengawinkan ilmunya dengan ilmu-ilmu sosial lainnya untuk mengembalikan kejayaan bahasa persatuan. Bagi saya bahasa adalah pemandu karakter bangsa, pemersatu sekaligus pembentuk masa depan. Hanya dengan bahasa yang baik, negeri ini mampu menghasilkan politikus-politikus yang bijak atau ilmuwan kelas dunia.

 Bahasa Pecundang

Tentu saja kerancuan bahasa bukanlah semata-mata masalah bahasa dengan segala elemen yang dipelajari ilmuwan bahasa.Bahasa adalah cerminan watak dan merupakan ungkapan pikiran bangsa. Setiap kali memasuki era baru, tak dapat pula dimungkiri suatu bangsa pasti mengalami kegalauan. Di era demokrasi kita menyaksikan kegalauankegalauan itu dengan manusiamanusia yang beralih dari kepribadian yang terbelenggu dan pasif menjadi agresif dan lepas kendali.

Kita belum benar-benar memiliki pemimpin dengan kualitas bahasa yang mampu menghormati dirinya sendiri sekaligus respek terhadap orang lain. Manusia assertiveyang harus kita bangun masih jauh panggang dari api. Maka setiap kali menyaksikan tayangan-tayangan demokrasi di televisi yang diramaikan politisi, pengamat, LSM, dan akademisi (apalagi kalau ada pengacara), masyarakat hanya bisa merasakan kegalauan dan bingung bahasa.

Bahasa yang mereka gunakan bukanlah bahasa bangsa yang berbahagia, melainkan bahasa campuran antara kepentingan ekonomi, transaksional, kekuasaan, dan ketidakpuasan. Bahasa kemenangan yang menimbulkan rasa kebahagiaan tenggelam di antara prahara politik uang dan kekuasaan. Yang melahirkan bahasa kaum pecundang. Ya itulah bahasa orang-orang kalah yang menurut psikolog Denis Waitley sebagai ungkapan cara berpikir orang-orang yang akan bermuara pada kekalahan.

Kaum pecundang akan selalu menyuarakan ketidakmampuan, ketiadaan sumber daya dan permodalan (constraint, not opportunity), rasa sakit yang ditonjolkan (“the pain”, not “the gain”), alasanalasan yang dibuat (bukan solusi), ancaman dan konflik (bukan persaudaraan dan kepedulian), terkurung oleh masa lalu (bukan melihat ke depan), menyerang atau menyalahkan orang lain (bukan menunjuk dirinya sendiri sebagai sumber masalah), tahu sedikit tetapi bicaranya banyak (bukan banyak mendengar meski sudah banyak tahu),dan seterusnya.

Makanya kita lebih banyak memiliki provokator daripada pekerja sosial, lebih banyak koruptor yang tak tahu malu ketimbang pemberi kurban yang ikhlas. Kita lebih banyak melahirkan “motivator” ketimbang wirausaha sungguhan karena sudah merasa serbamengerti meski usahanya belum seberapa besar. Kita lebih banyak menemukan orang yang ingin jalan pintas dengan jurus sukses dua menit ketimbang kerja keras atau lebih memilih “cara kepepet” daripada melakukan “persiapan” yang panjang.

Bahasa adalah soal rasa,dia berinteraksi dengan aneka motivasi,kejadian, dan tuntutan zaman. Bahasa Indonesia adalah bahasa persatuan yang mungkin jauh lebih penting ketimbang armada nasional, infrastruktur fisik, atau alatalat persatuan lainnya.Yang jelas, daya tariknya harus diangkat kembali setinggi bintangbintang di langit.● RHENALD KASALI Ketua Program MM Universitas Indonesia

Senin, 29 Oktober 2012

SOEMPAH PEMOEDA = PRODUK INTELEGENSI GENERASI 28

 


oleh Alexius Mahargono pada 27 Oktober 2012 pukul 19:08
Berkat kekuatan apakah Generasi 28 mampu melancarkan dan menahkodai gerakan pemerdekaan bangsa lewat zaman-zaman Hindia Belanda dan Jepang yang maha sulit itu? Merumuskan Pancasila, menyusun UUD 45, memproklamasikan Republik Indonesia, menyetirnya sampai diakui dunia internasional? Apakah berkat kekuatan ekonomi? Tidak. Berkat gelegar tentara yang kuat persenjataannya? Tidak. Atau partai pelopor dengan massa yang besar? Atau juga berkat partai bohong yang ketua dewan pembinanya anak mantan menteri yang protoloan serdadu? Juga tidak. Pejuang pemerdekaan Indonesia 1900-1950 yang yakin di tengah masyarakat pribumi kolonial yang (waktu itu) kira-kira 70 juta rakyat sebenarnya minoritas dalam minoritas. Orang-orang pengkhianat, serdadu pribumi yang ikut Belanda dan orang-orang yang serba lemah miskin prinsip, mudah menyeberang ke lawan sangatlah banyak (mungkin generasi sekarang tidak pernah diberitahu tentang itu). Namun para pemimpin yang sedikit sekali itu toh akhirnya menang menghadapi Belanda dan dunia internasional. Berkat semangat muda mereka. Dan jangan pernah dilupakan: terutama berkat intelegensi mereka, (kalau memang iya, mengapa harus diingkari), sebagian besar berkat pendidikan intelegensi oleh Belanda. Bukan oleh pemerintah Belanda, melainkan oleh guru-guru Belanda (ini yang seringkali membuat haram bagi bangsa ini untuk mengakuinya, semua yang berasal dari belanda adalah penjajah.... adalah busuk bla bla bla...).

Maka setiap ada perayaan Hari Kemerdekaan atau Hari Pahlawan atau upacara serta acara lain semacam itu, yang menyangkut kemnangan pemerdekaan bangsa Indonesia, hati saya selalu sedih (atau lebih tepatnya: marah), karena selalu dan senantiasa dipompakan ke dalam persepsi otak generasi muda, seolah-olah kaum Republik dulu jaya karena entah bambu runcingkah, atau senapan berpeluru mesiukah yang memberondongkan ribuan peluru, atau serangan-serangan bersenjata yang memang heroik dan fotogenik dramatik di layar bioskop, TV dan video, akan tetapi justru  memberi gambaran yang sama sekali meleset atas keunggulan historis generasi Kakek-Nenek Bapak-Ibu pendiri dan pembela RI kita di tahun-tahun yang maha gawat dan kacau itu. Memang harus diakui, tanpa perlawanan bersenjata kita sudah pasti digilas musuh, kepahlawanan berdarah panas itu harus kita hormati, tetapi maaf sungguh maaf, bukan mereka yang akhirnya menjadi sumber dan kunci rahasia kejayaan RI di masa kemerdekaan. Melainkan sekali lagi intelegensi dari para nahkoda nasion yang semuanya tergolong Generasi 28, yang didukung oleh semangat kaum muda yang kelak disebut Generasi 45. Hati boleh mendidih, namun kepala harus tetap dingin, itulah dalil yang dulu selalu didengungkan, dan yang historis memang terjadi.

Perbedaan pendapat memang ada antara kaum gerilyawan dan diplomat, antara tani-buruh dengan priyayi-pegawai dan sebagainya, tetapi boleh dikatakan semua waktu itu tunduk kepada akal sehat dan daya kemampuan memperhitungkan sekian banyak variabel dan alternatif. Mengumpat, memaki bahkan tidak jarang memberontak, tetapi toh akhirnya semua berakal sehat (kecuali PKI dan Tan Malaka) utnuk berdiri konsisten di belakang Soekarno-Hatta. Intelegensi mereka mampu untuk sadar, bahwa taktik-taktik sewaktu-waktu dapat dan harus berubah menurut situasi. Namun strategi tetapalah harus konsisten, yakni strategi dasar untuk melumpuhkan Belanda dan memancing simpati dunia internasional yang memang sudah muak perang dan benci Jepang, dengan menunjukkan wajah yang justru tidak militeristis, tetapi wajah yang penuh keinginan damai dan berbudaya. Dalam suasana di mana perbedaan pendapat serba bebas dan fair play diakui sebagai modal utama jika ingin jaya. Dalam bahasa Bung Karno: situasi empirik bukan texbook thinking. Dalam bahasa Edward de Bono: lateral thinking. Dalam bahasa rakyat biasa kurang lebih: bijak.

Berpikir lateral adalah berpikir yang tidak dogmatis pada satu pola saja yang dianggap paling hebat; tidak doktriner, jadi tidak mengacu pola yes or no, kapitalis/sosialis, beriman/kafir, orde baru/orde lama; maka mengakui, jalan yang betul belum tentu selalu betul dan jalan yang dipandang salah belum tentu selalu serba salah, tradisional bisa saja berarti modern, dan modern bisa jadi tradisional. Berpikir lateral bukan berpikir logis matematis, namun komplemennya. Dan tentu saja tidak berarti berpikir plin-plan. Tetapi berpikir multi dimensional. Jadi bukan dunia dalil satu yang melangkah ke dalil ke dua secara ketat kaku dan dalam urutan yang pasti eksak yang tidak bisa ditawar lagi. Berpikir lateral bisa diibaratkan penerbangan burung-burung yang merdeka; lebih mementingkan eksplorasi dan pencarian kemungkinan-kemungkinan pada berbagai tingkat ketinggian, arah dan kecepatan. Lateral thingking adalah cara berpikir manusia merdeka, dewasa, kreatif dan bijak. Bahkan bisa jadi revolusioner dalam artian: sanggup keluar dari pola-pola berpikir yang mapan, karena yakin bahwa kehidupan jauh lebih kaya raya dari pada doktrin dan alam raya. Dengan mengakui adanya samudera bahkan sekian galaksi kemungkinan-kemungkinan yang belum dieksplorasi. Lateral thinking adalah cara pikir dan dunia persepsi kaum perantau, kaum petualang, seniman dan religius sejati (bukan religius yang berpolitik), kreatif, berani, peduli dan suka bereksperimen.

Dengan menyimak apa yang dimaksud oleh Edward de Bono tentang cara berpikir lateral, maka kita akan lebih paham mengapa Generasi 28 begitu suka pada kata sifat revolusioner, yang berarti berani keluar dari kerangka-kerangka serba mapan, demi sesuatu yang lebih baik. HOS. Cokroaminoto, memilih keluar dari pekerjaannya yang mapan sebagai ambtenaar di Kabupaten Ngawi, untuk ikut dalam pergerakan nasional memperjuangkan kemerdekaan, dan pergi dari rumah besarnya, tinggal di rumah kecil di salah satu gang sempit di surabaya, karena akan dibunuh oleh ayahnya. Sutan Sjahrir, drop out  kuliah pada semester awal, karena terlalu inten dalam pergerakan bersama pemuda lainnya. Ki Hajar Dewantara, dengan sadar melepas seluruh atribut kebangsawanannya, bergerak dalam pendidikan untuk mencerdaskan bangsanya. Penjara sungguh akrab bagi Soekarno & Hatta, yang kalaupun mereka mau, pekerjaan sebagai engineer dan ekonom yang lebih terhormat sudah menanti selepas Soekarno lulus dari THS Bandung (sekarang ITB) dan sepulang Hatta dari Belanda, dan mengapa mereka berhasil gemilang dalam pelaksanaan tugas historis yang mission impossible. Coba bayangkan: insinyur sipil ditugasi jadi Presiden Republik muda, guru SD diangkat jadi Panglima Besar, mahasiswa drop out semester awal disuruh jadi Perdana Menteri dan memperjuangkan pengakuan di PBB untuk suatu republik yang belum dikenal, tambah tugas menjinakkan singa Belanda yang memiliki alat-alat perang modern, dokter disuruh menembus blokade angkatan laut kuat dan mengkoordinasi penyelundupan senjata, petani dan simbok-simbok desa ditugasi penyelengaraan dapur umum untuk ribuan tentara tanpa budget, tanpa dibayar, montir ditugasi pembuatan granat, kiper sepak bola ditugasi mempertahankan radio komunikasi, dst. Apakah ini bukan mission impossible. Tetapi toh mereka mampu membuat yang mustahil menjadi mungkin.

Baris-berbaris, menembakkan senapan dan melempar granat sangatlah gampang dibanding berpikir, bersiasat, mengorganisir, agar sekian banyak orang paham, tetap bersatu dan tidak saling eker-ekeran, dan berdiplomasi melawan cara pikir berpolitik parlemen dan kabinet Belanda, mengubah kekuatan-kekuatan internasional menjadi pendukung RI. Namun mereka memang jaya menghadapi Belanda berkat kecerdikannya, intelegensinya. Seperti seekor kancil dalam menghadapi harimau, ular dan buaya. Dan itulah yang dikerjakan oleh Generasi 28, sampai kira-kira tahun 1955. Sesudah itu intelegensi, kemerdekaan eksplorasi dan eksperimentasi serta kreatifitas mengalami musim kemarau yang sangat panjang sekali. Sampai akhirnya bergaung suara-suara nyinyir dalam keluhan setiap kaum marginal: toh nyatanya saat ini yang bisa hidup dan maju bukan mereka yang punya intelegensi atau bijak, melainkan yang punya duit, punya beking kuat dan agresif keroyokannya. Tentulah ini suara yang tidak 100% benar, namun jika ada asap mestinya perlu dicari di mana apinya kan?

Semoga kita semua sepakat bahwa dengan mental keroyokan, berkelahi tanpa sebab yang jelas, solidaritas absurd, dan dengan pudarnya daya intelegensi dan kebijakan nasion, kita tidak akan mungkin mampu menghadapi proses terbang mengangkasa menuju pada kehidupan berbangsa yang lebih beradab pada tahun-tahun mendatang. Namun sudilah kita jangan hanya menyalahkan satu atau dua pihak saja, terutama kepada pihak yang bertanggung jawab pada proses pembetukan intelegensia. Namun seluruh sistem negara dan praksis masyarakat menentukan apakah kita akan mendapat Generasi Baru ciyus miyapah yang bisanya cuma menyontek, menghafal dan berbaris, beking-bekingan, keroyokan dan lari tunggang langgang ketika polisi datang, ataukah generasi yang intelegen dan bijak, tidak usah berharap seperti Einstein yang mahir dengan dalil-dalil fisika, ataupun Phytagoras yangt mahir dengan dalil-dalil matematika, namun cukup seperti, atau kalau bisa mendekati Generasi 28.

Masalah akan datang ketika, bahwa yang mendominasi sistem pendidikan formal kita adalah logika dan matematika. Di luar negeri juga begitu pada umumnya. Akan tetapi di sana ada mekanisme-mekanisme lain, iklim kultural dan yang disebut kurikulum terselubung (hidden curriculum) yang memberi komplemen lebih dari cukup, sehingga murid terbina untuk, sadar tak sadar, sungguh-sungguh berpikir. Baik lewat kurikulum terselubung maupun terbuka sekolah formal, terutama lewat pendidikan non formal dan in formal dalam keluarga serta masyarakat sehari-hari. Tidak seperti sekolah kita sekarang, esensinya jarang sekali disentuh oleh para guru yang terhormat (meskipun sudah seringkali diberlakukan sistem-sistem yang lebih memberdayakan murid dalam pembentukan pola pikir), tidak lain karena memang pola pikir para guru pun hampir sebagian besar masih dua dimensi, tidak lateral. Lebih senang mengekspos seragam dan atribut-atribut lain yang sama sekali tidak mendidik dan tidak berorientasi pada pola pikir. Di zaman Hindia Belanda pun hal itu terjadi juga, sehingga kemudian bukanlah menjadi soal apabila ada guru muda SD dibebani tugas yang amat berat, yaitu Panglima Besar. Boleh jadi mereka bukan tolok ukur, karena mereka memang manusia-manusia luar biasa, manusia-manusia spesial. Namun sudilah jangan lupa, bahwa historis RI, khususnya dalam tahun-tahun awal kemerdekaan, ditopang oleh jutaan orang yang biasa-biasa saja; yang kebanyakan hanya lulusan Sekolah Rakyat (SD), namun mereka terdidik untuk berpikir, meski tidak tahu banyak mengenai logika dan matematika (juga tidak dilatih baris-berbaris, dan drum band) tetapi kuat dalam penguasaan bahasa, dan ya itu: mampu untuk berpikir.

  1. Kami poetera dan poeteri Indonesia, mengakoe bertoempah darah jang satoe, boekan tanah jang diboeat bancakan oleh para kapitalis pajah.
  2. Kami poetera dan poeteri Indonesia, mengakoe berbangsa jang satoe, boekan bangsa jang galaoe dan lemah.
  3. Kami poetera dan poeteri Indonesia, mendjoendjoeng bahasa persatoean, boekan bahasa ciyus miapah.

Selamat merayakan Hari Sumpah Pemuda!

Satoe KADO spesial buat adik-adik WAPEALA UNDIP yang hari ini, tepat pada peringatan SOEMPAH PEMOEDA, SUMMIT ATTACK Mt. KILIMANJAROO - TANZANIA - AFRICA.
Semoga dengan semangat Sumpah Pemuda, Sang Merah Putih, Panji Diponegoro & Bendera Merah Wapeala bisa berkibar di atap Afrika. Dan seluruh tim diberi kekuatan dan kesehatan untuk menunaikan tugasnya hingga kembali ke tanah air. Amiin.

Wlingi, 28 Oktober 2012

Selasa, 09 Oktober 2012

Permohonan Titre de Sejour


Pada saat masa visaku akan habis tanggal 2 Oktober, aku harus mempersiapkan perpanjangan ijin tinggal di Prancis yang di sebut dengan Titre Sejour. Karena jenis visaku adalah etudiant maka harus memperpanjang di Service International (SI) Universite de Lille 1 di Gedung SH4. Yang harus dipersiapkan adalah seperti yang tertera di dalam selebaran yang diberikan SI Univ. antara lain: 1. Empat buah foto dengan latar belakang abu-abu, foto tanpa penutup kepala.         2.Dua buah amplop yang sudah berperangko disertai nama dan alamat. 3.Fotokopi pasport&OFII 4.Attestation Residence 5.Attestation scolarite 6.Guarante Letter/penjamin keuangan/beasiswa 7.cotutelle aggrement UI-Lille/Surat kerjasama yang menyatakan masih diperpanjang sampe tahun berikutnya 
Aku harus membuat janji dengan SI Univ di internet (sesuai alamat web di bawah ini) untuk mengumpulkan semua berkas tersebut.
Setelah ditentukan waktunya, datang ke SH4 mengumpulkan dan diberi Recepice pengumpulan document dan katanya menunggu 2-4 minggu untuk mendapatkan recepice dari Perfecture de Lille.