Laman

Cerita keseharian

STORY ABOUT ME

Senin, 16 April 2012

For my soul mate "Untung Mardono"...

(dikutip dari KEMBANG ANGGREK BLOG) 
Suamiku...
Pernikahan atau perkawinan, menyingkap tabir rahasia.
Istri yang kamu nikahi,
Tidaklah semulia Khadijah,
Tidaklah setaqwa Aisyah,
pun tidak setabah Fatimah, apalagi secantik Zulaikha.

Istrimu ini hanyalah wanita akhir zaman, yang punya cita-cita, menjadi wanita shalehah...

Pernikahan atau perkawinan, mengajar kita kewajiban bersama,
Aku menjadi tanah engkaulah langit penaungnya,
Aku ladang tanaman engkaulah pemagarnya,
Aku kiasan ternak, engkaulah gembalanya,
Aku adalah murid, engkaulah mursyidnya,
Aku bagaikan anak kecil, dan engkaulah tempat bermanjanya.

Saat aku menjadi madu, engkaulah yang mereguknya,
Andaikan aku tulang yang bengkok, hati-hatilah meluruskannya.

Pernikahan atau perkawinan, menginsyafkan kita perlunya Iman dan Taqwa.
Untuk belajar meniti sabar dan Ridha Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Karena memiliki istri yang tidak sesempurna mana,
Justru.... engkau akan tersentak dari alpa,
engkau bukanlah Rasulullah, pun bukan pula sayyidina Ali Karamallahuwajhah, hanya suami akhir Zaman yang berusaha menjadi Shaleh...

Salam Cinta karena-Nya..
 

Selasa, 03 April 2012

AL SADAQAT AL JARIYAH

*****- THE ACTIONS WHICH OUTLIVES YOU!*****
 
1. Give a copy of Quran to someone and each time they read from it, you will gain hasanaat
 
2. Donate a wheel chair to a hospital and each time a sick person uses it, you will gain hasanaat
 
3.  Share constructive reading material with someone
 
4. Help in educating a child
 
5. Teach someone to recite a dua. With each recitation, you will gain hasanaat 
 
6. Share a dua or Quran CD 
 
7. Participate in the building of a mosque 
 
8. Place a water cooler in a public place 
 
9. Plant a tree. Each time any person or an animal sits under its shade or eats from the tree, you will gain hasanaat 
 
10. Share this with someone. If one person applies any of the above you will receive your hasanaat until the Day of Judgment

Senin, 02 April 2012

TANGAN IBU



Tanganmu, Ibu.
Ibumu adalah
Ibunda darah dagingmu
Tundukkan mukamu
Bungkukkan badanmu
Raih punggung tangan beliau
Ciumlah dalam-dalam
Hiruplah wewangian cintanya
Dan rasukkan ke dalam kalbumu
Agar menjadi azimah bagi rizki dan kebahagiaan

(Emha Ainun Najib)

Siang sudah sampai pada pertengahan. Dan Ibu begitu anggun menjumpaiku di depan pintu. Bergegas kurengkuh punggung tangannya, menciumnya lama. Ternyata rindu padanya tidak bertepuk sebelah tangan. Ibu juga mendaratkan kecupan sayang di ubun-ubun ini, lama. "Alhamdulillah, kamu sudah pulang" itu ucapannya kemudian. Begitu masuk ke dalam rumah, saya mendapati ruangan yang sungguh bersih. Sudah lama tidak pulang.

Ba'da Ashar,

"Nak, tolong angkatin panci, airnya sudah mendidih". Bergegas aku angkat pancinya dan dahipun berkerut, panci kecil itu diisi setengahnya. "Ah mungkin hanya untuk membuat beberapa gelas teh saja" pikirku.

"Eh, tolongin bawa ember ini ke depan, Ibu mau menyiram". Sebuah ember putih ukuran sedang telah terisi air, juga setengahnya. Aku memindahkannya ke halaman depan dengan mudahnya. Aku pandangi bunga-bunga peliharaan Ibu. Subur dan terawat. Dari dulu Ibu suka sekali menanam bunga.

"Nak, Ibu baru saja mencuci sarung, peras dulu, abis itu jemur di depan yah" pinta Ibu.

"Eh, bantuin Ibu potongin daging ayam" sekilas Aku memandang Ibu yang tengah bersusah payah memasak. Tumben Ibu begitu banyak meminta bantuan, biasanya beliau anteng dan cekatan dalam segala hal.

Sesosok wanita muda, sedang menyapu ketika Aku masuk rumah sepulang dari ziarah. "Mbak.." itu sapanya, kepalanya mengangguk ke arahku. "Bu, siapa itu.?" tanyaku. "Oh itu yang bantu-bantu Ibu sekarang" pendeknya. Dan Aku semakin termangu, dari dulu Ibu paling tidak suka mengeluarkan uang untuk mengupah orang lain dalam pekerjaan rumah tangga. Pantesan rumah terlihat lebih bersih dari biasanya.

Dan, semua pertanyaan itu seakan terjawab ketika Aku menemaninya tilawah selepas maghrib. Tangan Ibu gemetar memegang penunjuk yang terbuat dari kertas koran yang dipilin kecil, menelusuri tiap huruf al-qur'an. Dan mata ini memandang lekat pada jemarinya. Keriput, urat-uratnya menonjol jelas, bukan itu yang membuat Aku tertegun. Tangan itu terus bergetar. Aku berpaling, menyembunyikan bening kristal yang tiba-tiba muncul di kelopak mata. Mungkinkah segala bantuan yang ia minta sejak Aku pulang, karena tangannya tak lagi paripurna melakukan banyak hal?

"Dingin" bisikku, sambil beringsut membenamkan kepala di pangkuannya. Ibu masih terus tilawah, sedang tangan kirinya membelai kepalaku. Aku memeluknya, merengkuh banyak kehangatan yang dilimpahkannya tak berhingga.

Adzan isya berkumandang, kami melakukan sholat isya' berjamaah,
Usai shalat, Aku menunggunya membaca wirid, dan seperti tadi Aku pandangi lagi tangannya yang terus bergetar. "Duh Allah, sayangi Mamah" spontan Aku memohon. "Nak" suara ibu membuyarkan lamunan itu, kini tangannya terangsur di depanku, kebiasaan saat selesai shalat, Aku rengkuh tangan berkah itu dan menciumnya.

"Tangan ibu kenapa?" tanyaku pelan. Sebelum menjawab, ibu tersenyum maniss sekali.

"Penyakit orang tua"

"Sekarang tangan ibu hanya mampu melakukan yang ringan-ringan saja, irit tenaga" tambahnya.

Udara semakin dingin. Bintang-bintang di langit kian gemerlap berlatarkan langit biru tak berpenyangga. Aku memandangnya dari teras depan rumah. Ada bulan yang sudah memerak sejak tadi. Malam perlahan beranjak jauh. Dalam hening itu, Aku membayangkan senyuman manis Ibu sehabis shalat isya tadi. Apa maksudnya? Dan mengapakah, Aku seperti melayang. Telah banyak hal yang dipersembahkan tangannya untukku. Tangan yang tak pernah mencubit, sejengkel apapun perasaannya menghadapi kenakalanku. Tangan yang selalu berangsur ke kepala dan membetulkan letak jilbab ketika saya tergesa pergi sekolah. Tangan yang selalu dan selalu mengelus lembut ketika Aku mencari kekuatan di pangkuannya saat hatiku bergemuruh. Tangan yang menengadah ketika memohon kepada Allah untuk setiap ujian yang Aku jalani. Tangan yang pernah membuat bunga dari pita-pita berwarna dan menyimpannya di meja belajarku ketika Aku masih kecil yang katanya biar Aku lebih semangat belajar.

Sewaktu Aku baru memasuki bangku kuliah dan harus tinggal jauh darinya, suratnya selalu saja datang. Tulisan tangannya kadang membuat Aku mengerutkan dahi, pasalnya beberapa huruf terlihat sama, huruf n dan m nya mirip sekali. Ibu paling suka menulis surat dengan tulisan sambung. Dalam suratnya, selalu Ibu menyisipkan puisi yang diciptakannya sendiri. Ada sebuah puisinya yang Aku sukai. Ibu memang suka menyanjung :

Kau adalah gemerlap bintang di langit malam
Bukan!, kau lebih dari itu
Kau adalah pendar rembulan di angkasa sana,
Bukan!, kau lebih dari itu,
Kau adalah benderang matahari di tiap waktu,
Bukan!, kau lebih dari itu
Kau adalah Sinopsis semesta
Itu saja.

Tangan ibunda adalah perpanjangan tangan Tuhan. Itu yang Aku baca dari sebuah buku. Jika Aku renungkan, memang demikian. Tangan seorang ibunda adalah perwujudan banyak hal : Kasih sayang, kesabaran, cinta, ketulusan.. Pernahkah ia pamrih setelah tangannya menyajikan masakan di meja makan untuk sarapan? Pernahkan Ia meminta upah dari tengadah jemari ketika mendoakan anaknya agar diberi Allah banyak kemudahan dalam menapaki hidup? Pernahkah Ia menagih uang atas jerih payah tangannya membereskan tempat tidur kita? Pernahkah ia mengungkap balasan atas semua persembahan tangannya?..Pernahkah..?

Ketika akan meninggalkannya untuk kembali, Aku masih merajuknya "Bu, ikutlah ke jakarta, biar dekat dengan anak-anak". "Ah, Allah lebih perkasa di banding kalian, Dia menjaga Ibu dengan baik di sini. Kamu yang seharusnya sering datang, Ibu akan lebih senang" Jawabannya ringan. Tak ada air mata seperti saat-saat dulu melepas Aku pergi. Ibu tampak lebih pasrah, menyerahkan semua kepada kehendak Allah. Sebelum pergi, Aku merengkuh kembali punggung tangannya, selagi sempat , Aku reguk seluruh keikhlasan yang pernah dipersembahkannya untukku. Selagi sisa waktu yang Aku punya masih ada, tangannya Aku ciumi sepenuh takzim. Aku takut, sungguh takut, tak dapati lagi kesempatan meraih tangannya, meletakannya di kening.

***

Bagaimana dengan kalian para sahabat? Engkau sangat tahu, lewat tangannya kau ada, duduk di depan komputer dan membaca tulisanku ini. Engkau sangat tahu, lewat tangannya kau bisa menjadi seseorang yang menjadi kebanggaan. Engkau sangat tahu, dibanding siapapun juga. Maka, usah kau tunggu hingga tangannya gemetar, untuk mengajaknya bahagia. Inilah saatnya, inilah masanya.