oleh Alexius Mahargono pada 27 Oktober 2012 pukul 19:08
Berkat kekuatan apakah Generasi 28 mampu melancarkan dan
menahkodai gerakan pemerdekaan bangsa lewat zaman-zaman Hindia Belanda
dan Jepang yang maha sulit itu? Merumuskan Pancasila, menyusun UUD 45,
memproklamasikan Republik Indonesia, menyetirnya sampai diakui dunia
internasional? Apakah berkat kekuatan ekonomi? Tidak. Berkat gelegar
tentara yang kuat persenjataannya? Tidak. Atau partai pelopor dengan
massa yang besar? Atau juga berkat partai bohong yang ketua dewan
pembinanya anak mantan menteri yang protoloan serdadu? Juga tidak.
Pejuang pemerdekaan Indonesia 1900-1950 yang yakin di tengah masyarakat
pribumi kolonial yang (waktu itu) kira-kira 70 juta rakyat sebenarnya
minoritas dalam minoritas. Orang-orang pengkhianat, serdadu pribumi yang
ikut Belanda dan orang-orang yang serba lemah miskin prinsip, mudah
menyeberang ke lawan sangatlah banyak (mungkin generasi sekarang tidak
pernah diberitahu tentang itu). Namun para pemimpin yang sedikit sekali
itu toh akhirnya menang menghadapi Belanda dan dunia internasional.
Berkat semangat muda mereka. Dan jangan pernah dilupakan: terutama
berkat intelegensi mereka, (kalau memang iya, mengapa harus diingkari),
sebagian besar berkat pendidikan intelegensi oleh Belanda. Bukan oleh
pemerintah Belanda, melainkan oleh guru-guru Belanda (ini yang
seringkali membuat haram bagi bangsa ini untuk mengakuinya, semua yang
berasal dari belanda adalah penjajah.... adalah busuk bla bla bla...).
Maka setiap ada perayaan Hari Kemerdekaan atau Hari Pahlawan atau
upacara serta acara lain semacam itu, yang menyangkut kemnangan
pemerdekaan bangsa Indonesia, hati saya selalu sedih (atau lebih
tepatnya: marah), karena selalu dan senantiasa dipompakan ke dalam
persepsi otak generasi muda, seolah-olah kaum Republik dulu jaya karena
entah bambu runcingkah, atau senapan berpeluru mesiukah yang
memberondongkan ribuan peluru, atau serangan-serangan bersenjata yang
memang heroik dan fotogenik dramatik di layar bioskop, TV dan video,
akan tetapi justru memberi gambaran yang sama sekali meleset atas
keunggulan historis generasi Kakek-Nenek Bapak-Ibu pendiri dan pembela
RI kita di tahun-tahun yang maha gawat dan kacau itu. Memang harus
diakui, tanpa perlawanan bersenjata kita sudah pasti digilas musuh,
kepahlawanan berdarah panas itu harus kita hormati, tetapi maaf sungguh
maaf, bukan mereka yang akhirnya menjadi sumber dan kunci rahasia
kejayaan RI di masa kemerdekaan. Melainkan sekali lagi intelegensi dari
para nahkoda nasion yang semuanya tergolong Generasi 28, yang didukung
oleh semangat kaum muda yang kelak disebut Generasi 45. Hati boleh
mendidih, namun kepala harus tetap dingin, itulah dalil yang dulu selalu
didengungkan, dan yang historis memang terjadi.
Perbedaan pendapat memang ada antara kaum gerilyawan dan diplomat,
antara tani-buruh dengan priyayi-pegawai dan sebagainya, tetapi boleh
dikatakan semua waktu itu tunduk kepada akal sehat dan daya kemampuan
memperhitungkan sekian banyak variabel dan alternatif. Mengumpat, memaki
bahkan tidak jarang memberontak, tetapi toh akhirnya semua berakal
sehat (kecuali PKI dan Tan Malaka) utnuk berdiri konsisten di belakang
Soekarno-Hatta. Intelegensi mereka mampu untuk sadar, bahwa
taktik-taktik sewaktu-waktu dapat dan harus berubah menurut situasi.
Namun strategi tetapalah harus konsisten, yakni strategi dasar untuk
melumpuhkan Belanda dan memancing simpati dunia internasional yang
memang sudah muak perang dan benci Jepang, dengan menunjukkan wajah yang
justru tidak militeristis, tetapi wajah yang penuh keinginan damai dan
berbudaya. Dalam suasana di mana perbedaan pendapat serba bebas dan
fair play diakui sebagai modal utama jika ingin jaya. Dalam bahasa Bung Karno: situasi empirik bukan
texbook thinking. Dalam bahasa Edward de Bono:
lateral thinking. Dalam bahasa rakyat biasa kurang lebih: bijak.
Berpikir lateral adalah berpikir yang tidak dogmatis pada satu pola
saja yang dianggap paling hebat; tidak doktriner, jadi tidak mengacu
pola
yes or no, kapitalis/sosialis, beriman/kafir, orde
baru/orde lama; maka mengakui, jalan yang betul belum tentu selalu betul
dan jalan yang dipandang salah belum tentu selalu serba salah,
tradisional bisa saja berarti modern, dan modern bisa jadi tradisional.
Berpikir lateral bukan berpikir logis matematis, namun komplemennya. Dan
tentu saja tidak berarti berpikir plin-plan. Tetapi berpikir multi
dimensional. Jadi bukan dunia dalil satu yang melangkah ke dalil ke dua
secara ketat kaku dan dalam urutan yang pasti eksak yang tidak bisa
ditawar lagi. Berpikir lateral bisa diibaratkan penerbangan
burung-burung yang merdeka; lebih mementingkan eksplorasi dan pencarian
kemungkinan-kemungkinan pada berbagai tingkat ketinggian, arah dan
kecepatan.
Lateral thingking adalah cara berpikir manusia
merdeka, dewasa, kreatif dan bijak. Bahkan bisa jadi revolusioner dalam
artian: sanggup keluar dari pola-pola berpikir yang mapan, karena yakin
bahwa kehidupan jauh lebih kaya raya dari pada doktrin dan alam raya.
Dengan mengakui adanya samudera bahkan sekian galaksi
kemungkinan-kemungkinan yang belum dieksplorasi.
Lateral thinking
adalah cara pikir dan dunia persepsi kaum perantau, kaum petualang,
seniman dan religius sejati (bukan religius yang berpolitik), kreatif,
berani, peduli dan suka bereksperimen.
Dengan menyimak apa yang dimaksud oleh Edward de Bono tentang cara
berpikir lateral, maka kita akan lebih paham mengapa Generasi 28 begitu
suka pada kata sifat revolusioner, yang berarti berani keluar dari
kerangka-kerangka serba mapan, demi sesuatu yang lebih baik. HOS.
Cokroaminoto, memilih keluar dari pekerjaannya yang mapan sebagai
ambtenaar
di Kabupaten Ngawi, untuk ikut dalam pergerakan nasional memperjuangkan
kemerdekaan, dan pergi dari rumah besarnya, tinggal di rumah kecil di
salah satu gang sempit di surabaya, karena akan dibunuh oleh ayahnya.
Sutan Sjahrir,
drop out kuliah pada semester awal, karena
terlalu inten dalam pergerakan bersama pemuda lainnya. Ki Hajar
Dewantara, dengan sadar melepas seluruh atribut kebangsawanannya,
bergerak dalam pendidikan untuk mencerdaskan bangsanya. Penjara sungguh
akrab bagi Soekarno & Hatta, yang kalaupun mereka mau, pekerjaan
sebagai
engineer dan ekonom yang lebih terhormat sudah menanti
selepas Soekarno lulus dari THS Bandung (sekarang ITB) dan sepulang
Hatta dari Belanda, dan mengapa mereka berhasil gemilang dalam
pelaksanaan tugas historis yang
mission impossible. Coba
bayangkan: insinyur sipil ditugasi jadi Presiden Republik muda, guru SD
diangkat jadi Panglima Besar, mahasiswa drop out semester awal disuruh
jadi Perdana Menteri dan memperjuangkan pengakuan di PBB untuk suatu
republik yang belum dikenal, tambah tugas menjinakkan singa Belanda yang
memiliki alat-alat perang modern, dokter disuruh menembus blokade
angkatan laut kuat dan mengkoordinasi penyelundupan senjata, petani dan
simbok-simbok desa ditugasi penyelengaraan dapur umum untuk ribuan
tentara tanpa budget, tanpa dibayar, montir ditugasi pembuatan granat,
kiper sepak bola ditugasi mempertahankan radio komunikasi, dst. Apakah
ini bukan
mission impossible. Tetapi toh mereka mampu membuat yang mustahil menjadi mungkin.
Baris-berbaris, menembakkan senapan dan melempar granat sangatlah
gampang dibanding berpikir, bersiasat, mengorganisir, agar sekian banyak
orang paham, tetap bersatu dan tidak saling eker-ekeran, dan
berdiplomasi melawan cara pikir berpolitik parlemen dan kabinet Belanda,
mengubah kekuatan-kekuatan internasional menjadi pendukung RI. Namun
mereka memang jaya menghadapi Belanda berkat kecerdikannya,
intelegensinya. Seperti seekor kancil dalam menghadapi harimau, ular dan
buaya. Dan itulah yang dikerjakan oleh Generasi 28, sampai kira-kira
tahun 1955. Sesudah itu intelegensi, kemerdekaan eksplorasi dan
eksperimentasi serta kreatifitas mengalami musim kemarau yang sangat
panjang sekali. Sampai akhirnya bergaung suara-suara nyinyir dalam
keluhan setiap kaum marginal: toh nyatanya saat ini yang bisa hidup dan
maju bukan mereka yang punya intelegensi atau bijak, melainkan yang
punya duit, punya beking kuat dan agresif keroyokannya. Tentulah ini
suara yang tidak 100% benar, namun jika ada asap mestinya perlu dicari
di mana apinya kan?
Semoga kita semua sepakat bahwa dengan mental keroyokan, berkelahi tanpa sebab yang jelas, solidaritas
absurd,
dan dengan pudarnya daya intelegensi dan kebijakan nasion, kita tidak
akan mungkin mampu menghadapi proses terbang mengangkasa menuju pada
kehidupan berbangsa yang lebih beradab pada tahun-tahun mendatang. Namun
sudilah kita jangan hanya menyalahkan satu atau dua pihak saja,
terutama kepada pihak yang bertanggung jawab pada proses pembetukan
intelegensia. Namun seluruh sistem negara dan praksis masyarakat
menentukan apakah kita akan mendapat Generasi Baru
ciyus miyapah
yang bisanya cuma menyontek, menghafal dan berbaris, beking-bekingan,
keroyokan dan lari tunggang langgang ketika polisi datang, ataukah
generasi yang intelegen dan bijak, tidak usah berharap seperti Einstein
yang mahir dengan dalil-dalil fisika, ataupun Phytagoras yangt mahir
dengan dalil-dalil matematika, namun cukup seperti, atau kalau bisa
mendekati Generasi 28.
Masalah akan datang ketika, bahwa yang mendominasi sistem pendidikan
formal kita adalah logika dan matematika. Di luar negeri juga begitu
pada umumnya. Akan tetapi di sana ada mekanisme-mekanisme lain, iklim
kultural dan yang disebut kurikulum terselubung (
hidden curriculum)
yang memberi komplemen lebih dari cukup, sehingga murid terbina untuk,
sadar tak sadar, sungguh-sungguh berpikir. Baik lewat kurikulum
terselubung maupun terbuka sekolah formal, terutama lewat pendidikan non
formal dan in formal dalam keluarga serta masyarakat sehari-hari. Tidak
seperti sekolah kita sekarang, esensinya jarang sekali disentuh oleh
para guru yang terhormat (meskipun sudah seringkali diberlakukan
sistem-sistem yang lebih memberdayakan murid dalam pembentukan pola
pikir), tidak lain karena memang pola pikir para guru pun hampir
sebagian besar masih dua dimensi, tidak lateral. Lebih senang mengekspos
seragam dan atribut-atribut lain yang sama sekali tidak mendidik dan
tidak berorientasi pada pola pikir. Di zaman Hindia Belanda pun hal itu
terjadi juga, sehingga kemudian bukanlah menjadi soal apabila ada guru
muda SD dibebani tugas yang amat berat, yaitu Panglima Besar. Boleh jadi
mereka bukan tolok ukur, karena mereka memang manusia-manusia luar
biasa, manusia-manusia spesial. Namun sudilah jangan lupa, bahwa
historis RI, khususnya dalam tahun-tahun awal kemerdekaan, ditopang oleh
jutaan orang yang biasa-biasa saja; yang kebanyakan hanya lulusan
Sekolah Rakyat (SD), namun mereka terdidik untuk berpikir, meski tidak
tahu banyak mengenai logika dan matematika (juga tidak dilatih
baris-berbaris, dan drum band) tetapi kuat dalam penguasaan bahasa, dan
ya itu: mampu untuk berpikir.
- Kami poetera dan poeteri Indonesia, mengakoe bertoempah darah
jang satoe, boekan tanah jang diboeat bancakan oleh para kapitalis
pajah.
- Kami poetera dan poeteri Indonesia, mengakoe berbangsa jang satoe, boekan bangsa jang galaoe dan lemah.
- Kami poetera dan poeteri Indonesia, mendjoendjoeng bahasa persatoean, boekan bahasa ciyus miapah.
Selamat merayakan Hari Sumpah Pemuda!
Satoe KADO spesial buat adik-adik WAPEALA UNDIP yang hari ini, tepat
pada peringatan SOEMPAH PEMOEDA, SUMMIT ATTACK Mt. KILIMANJAROO -
TANZANIA - AFRICA.
Semoga dengan semangat Sumpah Pemuda, Sang Merah Putih, Panji
Diponegoro & Bendera Merah Wapeala bisa berkibar di atap Afrika. Dan
seluruh tim diberi kekuatan dan kesehatan untuk menunaikan tugasnya
hingga kembali ke tanah air. Amiin.
Wlingi, 28 Oktober 2012