Setiap saat mulai perkuliahan, saya
selalu bertanya kepada mahasiswa berapa orang yang sudah memiliki
pasport. Tidak mengherankan, ternyata hanya sekitar 5% yang mengangkat
tangan. Ketika ditanya berapa yang sudah pernah naik pesawat, jawabannya
melonjak tajam. Hampir 90% mahasiswa saya sudah pernah melihat awan
dari atas. Ini berarti mayoritas anak-anak kita hanyalah pelancong
lokal.
Maka, berbeda dengan kebanyakan dosen
yang memberi tugas kertas berupa PR dan paper, di kelas-kelas yang saya
asuh saya memulainya dengan memberi tugas mengurus pasport. Setiap
mahasiswa harus memiliki “surat ijin memasuki dunia global.”. Tanpa
pasport manusia akan kesepian, cupet, terkurung dalam kesempitan,
menjadi pemimpin yang steril. Dua minggu kemudian, mahasiswa sudah bisa
berbangga karena punya pasport.
Setelah itu mereka bertanya lagi, untuk
apa pasport ini? Saya katakan, pergilah keluar negeri yang tak berbahasa
Melayu. Tidak boleh ke Malaysia, Singapura, Timor Leste atau Brunei
Darussalam. Pergilah sejauh yang mampu dan bisa dijangkau.
“Uang untuk beli tiketnya bagaimana, pak?”
Saya katakan saya tidak tahu. Dalam
hidup ini, setahu saya hanya orang bodohlah yang selalu memulai
pertanyaan hidup, apalagi memulai misi kehidupan dan tujuannya dari
uang. Dan begitu seorang pemula bertanya uangnya dari mana, maka ia akan
terbelenggu oleh constraint. Dan hampir pasti jawabannya hanyalah tidak
ada uang, tidak bisa, dan tidak mungkin.
Pertanyaan seperti itu tak hanya ada di
kepala mahasiswa, melainkan juga para dosen steril yang kurang
jalan-jalan. Bagi mereka yang tak pernah melihat dunia, luar negeri
terasa jauh, mahal, mewah, menembus batas kewajaran dan buang-buang
uang. Maka tak heran banyak dosen yang takut sekolah ke luar negeri
sehingga memilih kuliah di almamaternya sendiri. Padahal dunia yang
terbuka bisa membukakan sejuta kesempatan untuk maju. Anda bisa
mendapatkan sesuatu yang yang terbayangkan, pengetahuan, teknologi,
kedewasaan, dan wisdom.
Namun beruntunglah, pertanyaan seperti
itu tak pernah ada di kepala para pelancong, dan diantaranya adalah
mahasiswa yang dikenal sebagai kelompok backpackers. Mereka adalah
pemburu tiket dan penginapan super murah, menggendong ransel butut dan
bersandal jepit, yang kalau kehabisan uang bekerja di warung sebagai
pencuci piring. Perilaku melancong mereka sebenarnya tak ada bedanya
dengan remaja-remaja Minang, Banjar, atau Bugis, yang merantau ke Pulau
Jawa berbekal seadanya.Ini berarti tak banyak orang yang paham bahwa
bepergian keluar negeri sudah tak semenyeramkan, sejauh, bahkan semewah
di masa lalu.
Seorang mahasiswa asal daerah yang saya
dorong pergi jauh, sekarang malah rajin bepergian. Ia bergabung ke dalam
kelompok PKI (Pedagang Kaki Lima Internasional) yang tugasnya memetakan
pameran-pameran besar yang dikoordinasi pemerintah. Disana mereka
membuka lapak, mengambil resiko, menjajakan aneka barang kerajinan, dan
pulangnya mereka jalan-jalan, ikut kursus, dan membawa dolar. Saat
diwisuda, ia menghampiri saya dengan menunjukkan pasportnya yang tertera
stempel imigrasi dari 35 negara. Selain kaya teori, matanya tajam
mengendus peluang dan rasa percaya tinggi. Saat teman-temannya yang
lulus cum-laude masih mencari kerja, ia sudah menjadi eksekutif di
sebuah perusahaan besar di luar negeri.
The Next Convergence
Dalam bukunya yang berjudul The Next
Convergence, penerima hadiah Nobel ekonomi Michael Spence mengatakan,
dunia tengah memasuki Abad Ke tiga dari Revolusi Industri. dan sejak
tahun 1950, rata-rata pendapatan penduduk dunia telah meningkat dua
puluh kali lipat. Maka kendati penduduk miskin masih banyak, adalah hal
yang biasa kalau kita menemukan perempuan miskin-lulusan SD dari sebuah
dusun di Madura bolak-balik Surabaya-Hongkong.
Tetapi kita juga biasa menemukan
mahasiswa yang hanya sibuk demo dan tak pernah keluar negeri sekalipun.
Jangankan ke luar negeri, tahu harga tiket pesawat saja tidak, apalagi
memiliki pasport.Maka bagi saya, penting bagi para pendidik untuk
membawa anak-anak didiknya melihat dunia. Berbekal lima ratus ribu
rupiah, anak-anak SD dari Pontianak dapat diajak menumpang bis melewati
perbatasan Entekong memasuki Kuching. Dalam jarak tempuh sembilan jam
mereka sudah mendapatkan pelajaran PPKN yang sangat penting, yaitu
pupusnya kebangsaan karena kita kurang urus daerah perbatasan.
Rumah-rumah kumuh, jalan berlubang, pedagang kecil yang tak diurus
Pemda, dan infrastruktur yang buruk ada di bagian sini. Sedangkan hal
sebaliknya ada di sisi seberang. Anak-anak yang melihat dunia akan
terbuka matanya dan memakai nuraninya saat memimpin bangsa di masa
depan. Di universitas Indonesia, setiap mahasiswa saya diwajibkan
memiliki pasport dan melihat minimal satu negara.
Dulu saya sendiri yang menjadi gembala
sekaligus guide nya. Kami menembus Chiangmay dan menyaksikan penduduk
miskin di Thailand dan Vietnam bertarung melawan arus globalisasi. Namun
belakangan saya berubah pikiran, kalau diantar oleh dosennya, kapan
memiliki keberanian dan inisiatif? Maka perjalanan penuh pertanyaan pun
mereka jalani. Saat anak-anak Indonesia ketakutan tak bisa berbahasa
Inggris, anak-anak Korea dan Jepang yang huruf tulisannya jauh lebih
rumit dan pronounciation-nya sulit dimengerti menjelajahi dunia tanpa
rasa takut. Uniknya, anak-anak didik saya yang sudah punya pasport itu
99% akhirnya dapat pergi keluar negeri. Sekali lagi, jangan tanya
darimana uangnya. Mereka memutar otak untuk mendapatkan tiket, menabung,
mencari losmen-losmen murah, menghubungi sponsor dan mengedarkan kotak
sumbangan. Tentu saja, kalau kurang sedikit ya ditomboki dosennya
sendiri.
Namun harap dimaklumi, anak-anak didik
saya yang wajahnya ndeso sekalipun kini dipasportnya tertera satu dua
cap imigrasi luar negeri. Apakah mereka anak-anak orang kaya yang
orangtuanya mampu membelikan mereka tiket? Tentu tidak. Di UI, sebagian
mahasiswa kami adalah anak PNS, bahkan tidak jarang mereka anak petani
dan nelayan. Tetapi mereka tak mau kalah dengan TKW yang meski tak
sepandai mereka, kini sudah pandai berbahasa asing.
Anak-anak yang ditugaskan ke luar negeri
secara mandiri ternyata memiliki daya inovasi dan inisiatif yang
tumbuh. Rasa percaya diri mereka bangkit. Sekembalinya dari luar negeri
mereka membawa segudang pengalaman, cerita, gambar dan foto yang
ternyata sangat membentuk visi mereka.
Saya pikir ada baiknya para guru mulai
membiasakan anak didiknya memiliki pasport. Pasport adalah tiket untuk
melihat dunia, dan berawal dari pasport pulalah seorang santri dari Jawa
Timur menjadi pengusaha di luar negeri. Di Italy saya bertemu Dewi
Francesca, perempuan asal Bali yang memiliki kafe yang indah di Rocca di
Papa. Dan karena pasport pulalah, Yohannes Surya mendapat bea siswa di
Amerika Serikat. Ayo, jangan kalah dengan Gayus Tambunan atau Nazaruddin
yang baru punya pasport dari uang negara.
Rhenald Kasali – Guru Besar Universitas Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar