Senin, 16 April 2012
Selasa, 03 April 2012
AL SADAQAT AL JARIYAH
*****- THE ACTIONS WHICH OUTLIVES YOU!*****
1. Give a copy of Quran to someone and each time they read from it, you will gain hasanaat
2. Donate a wheel chair to a hospital and each time a sick person uses it, you will gain hasanaat
3. Share constructive reading material with someone
4. Help in educating a child
5. Teach someone to recite a dua. With each recitation, you will gain hasanaat
6. Share a dua or Quran CD
7. Participate in the building of a mosque
8. Place a water cooler in a public place
9. Plant a tree. Each time any person or an animal sits under its shade or eats from the tree, you will gain hasanaat
10. Share this with someone. If one person applies any of the above you will receive your hasanaat until the Day of Judgment
Senin, 02 April 2012
TANGAN IBU
Tanganmu,
Ibu.
Ibumu
adalah
Ibunda
darah dagingmu
Tundukkan
mukamu
Bungkukkan
badanmu
Raih
punggung tangan beliau
Ciumlah dalam-dalam
Hiruplah wewangian cintanya
Dan rasukkan ke dalam kalbumu
Agar menjadi azimah bagi rizki dan kebahagiaan
(Emha Ainun Najib)
Siang sudah sampai pada pertengahan. Dan Ibu begitu
anggun menjumpaiku di depan pintu. Bergegas kurengkuh punggung tangannya,
menciumnya lama. Ternyata rindu padanya tidak bertepuk sebelah tangan. Ibu juga
mendaratkan kecupan sayang di ubun-ubun ini, lama. "Alhamdulillah, kamu
sudah pulang" itu ucapannya kemudian. Begitu masuk ke dalam rumah, saya
mendapati ruangan yang sungguh bersih. Sudah lama tidak pulang.
Ba'da Ashar,
"Nak, tolong angkatin panci, airnya sudah
mendidih". Bergegas aku angkat pancinya dan dahipun berkerut, panci kecil
itu diisi setengahnya. "Ah mungkin hanya untuk membuat beberapa gelas teh
saja" pikirku.
"Eh, tolongin bawa ember ini ke depan, Ibu mau
menyiram". Sebuah ember putih ukuran sedang telah terisi air, juga
setengahnya. Aku memindahkannya ke
halaman depan dengan mudahnya. Aku
pandangi bunga-bunga peliharaan Ibu. Subur dan terawat. Dari dulu Ibu suka
sekali menanam bunga.
"Nak, Ibu baru saja mencuci sarung, peras dulu,
abis itu jemur di depan yah" pinta Ibu.
"Eh, bantuin Ibu potongin daging ayam"
sekilas Aku memandang Ibu yang tengah
bersusah payah memasak. Tumben Ibu begitu banyak meminta bantuan, biasanya
beliau anteng dan cekatan dalam segala hal.
Sesosok wanita muda, sedang menyapu ketika Aku masuk rumah sepulang dari ziarah.
"Mbak.." itu sapanya, kepalanya mengangguk ke arahku. "Bu, siapa
itu.?" tanyaku. "Oh itu yang bantu-bantu Ibu sekarang"
pendeknya. Dan Aku semakin termangu,
dari dulu Ibu paling tidak suka mengeluarkan uang untuk mengupah orang lain
dalam pekerjaan rumah tangga. Pantesan rumah terlihat lebih bersih dari
biasanya.
Dan, semua pertanyaan itu seakan terjawab ketika Aku menemaninya tilawah selepas maghrib.
Tangan Ibu gemetar memegang penunjuk yang terbuat dari kertas koran yang dipilin
kecil, menelusuri tiap huruf al-qur'an. Dan mata ini memandang lekat pada
jemarinya. Keriput, urat-uratnya menonjol jelas, bukan itu yang membuat Aku tertegun. Tangan itu terus bergetar. Aku berpaling, menyembunyikan bening
kristal yang tiba-tiba muncul di kelopak mata.
Mungkinkah segala bantuan yang ia minta sejak Aku pulang, karena tangannya tak lagi
paripurna melakukan banyak hal?
"Dingin" bisikku, sambil beringsut
membenamkan kepala di pangkuannya. Ibu masih terus tilawah, sedang tangan
kirinya membelai kepalaku. Aku
memeluknya, merengkuh banyak kehangatan yang dilimpahkannya tak berhingga.
Adzan isya berkumandang, kami melakukan sholat isya'
berjamaah,
Usai shalat, Aku menunggunya membaca wirid, dan seperti tadi Aku pandangi lagi tangannya yang terus bergetar. "Duh Allah, sayangi
Mamah" spontan Aku memohon. "Nak" suara ibu membuyarkan lamunan itu, kini
tangannya terangsur di depanku, kebiasaan saat selesai shalat, Aku rengkuh tangan berkah itu dan menciumnya.
"Tangan
ibu kenapa?" tanyaku pelan. Sebelum menjawab, ibu
tersenyum maniss sekali.
"Penyakit orang tua"
"Sekarang tangan ibu hanya mampu melakukan yang
ringan-ringan saja, irit tenaga" tambahnya.
Udara
semakin dingin. Bintang-bintang di langit kian gemerlap berlatarkan langit biru
tak berpenyangga. Aku memandangnya dari teras
depan rumah. Ada bulan yang sudah memerak sejak tadi. Malam perlahan beranjak
jauh. Dalam hening itu, Aku membayangkan senyuman manis
Ibu sehabis shalat isya tadi. Apa maksudnya? Dan mengapakah, Aku seperti melayang. Telah
banyak hal yang dipersembahkan tangannya untukku. Tangan yang tak pernah
mencubit, sejengkel apapun perasaannya menghadapi kenakalanku. Tangan yang
selalu berangsur ke kepala dan membetulkan letak jilbab ketika saya tergesa
pergi sekolah. Tangan yang selalu dan selalu mengelus lembut ketika Aku mencari kekuatan di
pangkuannya saat hatiku bergemuruh. Tangan yang menengadah ketika memohon
kepada Allah untuk setiap ujian yang Aku jalani. Tangan yang pernah
membuat bunga dari pita-pita berwarna dan menyimpannya di meja belajarku ketika
Aku masih kecil yang katanya biar Aku lebih semangat belajar.
Sewaktu
Aku baru memasuki bangku kuliah dan harus tinggal jauh
darinya, suratnya selalu saja datang. Tulisan tangannya kadang membuat Aku mengerutkan dahi, pasalnya
beberapa huruf terlihat sama, huruf n dan m nya mirip sekali. Ibu paling suka
menulis surat dengan tulisan sambung. Dalam suratnya, selalu Ibu menyisipkan
puisi yang diciptakannya sendiri. Ada sebuah puisinya yang Aku sukai. Ibu memang suka menyanjung
:
Kau adalah gemerlap bintang di langit malam
Bukan!, kau lebih dari itu
Kau adalah pendar rembulan di angkasa sana,
Bukan!, kau lebih dari itu,
Kau adalah benderang matahari di tiap waktu,
Bukan!, kau lebih dari itu
Kau adalah Sinopsis semesta
Itu saja.
Tangan ibunda adalah perpanjangan tangan Tuhan. Itu yang Aku baca
dari sebuah buku. Jika Aku renungkan, memang demikian. Tangan seorang ibunda adalah
perwujudan banyak hal : Kasih sayang,
kesabaran, cinta, ketulusan.. Pernahkah ia pamrih setelah tangannya menyajikan
masakan di meja makan untuk sarapan?
Pernahkan Ia meminta upah dari tengadah jemari ketika mendoakan anaknya agar
diberi Allah banyak kemudahan dalam menapaki hidup? Pernahkah Ia menagih uang
atas jerih payah tangannya membereskan tempat tidur kita? Pernahkah ia
mengungkap balasan atas semua persembahan tangannya?..Pernahkah..?
Ketika akan meninggalkannya untuk kembali, Aku masih
merajuknya "Bu, ikutlah ke jakarta, biar dekat dengan anak-anak".
"Ah, Allah lebih perkasa di banding kalian, Dia menjaga Ibu dengan baik di
sini. Kamu yang seharusnya sering datang, Ibu akan lebih senang"
Jawabannya ringan. Tak
ada air mata seperti saat-saat dulu melepas Aku pergi. Ibu tampak lebih
pasrah, menyerahkan semua kepada kehendak Allah. Sebelum pergi, Aku merengkuh kembali punggung
tangannya, selagi sempat , Aku reguk seluruh keikhlasan
yang pernah dipersembahkannya untukku. Selagi sisa waktu yang Aku punya masih ada, tangannya Aku ciumi sepenuh takzim. Aku takut, sungguh takut, tak
dapati lagi kesempatan meraih tangannya, meletakannya di kening.
***
Bagaimana dengan kalian para sahabat? Engkau sangat
tahu, lewat tangannya kau ada, duduk di depan komputer dan membaca tulisanku
ini. Engkau sangat tahu, lewat tangannya kau bisa menjadi seseorang yang
menjadi kebanggaan. Engkau sangat tahu, dibanding siapapun juga. Maka, usah kau
tunggu hingga tangannya gemetar, untuk mengajaknya bahagia. Inilah saatnya,
inilah masanya.
Langganan:
Postingan (Atom)